Untuk Mantan Terindah Yang Buat Diri Susah Lupa



“Hey kamu, mantan terindahku, masihkah mengingat aku yang pernah mampir dalam hidupmu?”

Pertemuan kita tak pernah disangka-sangka. Aku dan kamu saling jatuh cinta lewat cara-cara yang sederhana

Meski tinggal di kota yang sama, bahkan bisa dibilang satu atap setiap pagi-sore bahkan pernah sesekali kamu menginap, kita adalah dua orang yang tak saling mengenal sebelumnya. Namun, sebuah pertemuan yang tak disengaja memaksa kita berjabat tangan dan saling bertanya nama. Kamu yang adalah instruktur magangku yng tak pernah terbayangkan bisa aku miliki setelahnya. Keputusan untuk bertukar nomor ponsel pun jadi penanda kedekatan selanjutnya.

Awalnya, menerima SMS dan telepon darimu terasa canggung bagiku. Tapi harus diakui, kamu memang piawai mencairkan suasana. Berdua, kita bisa bicara tentang apa saja. Soal pekerjaan, band-band metal yang jadi favoritmu, hingga novel-novel fiksi yang kamu gilai.

Entah siapa yang lebih dulu jatuh cinta, tapi aku dan kamu akhirnya sepakat bersama. Kita mantap untuk pacaran dan segala yang terjadi terasa begitu sempurna walaupun di bulan kedua hubungan kita, harus menjalani LDR denganmu karena aku harus kembali ke kota tempat aku tinggal dan bersekolah dulu. Sejak awal jadian hingga tahun demi tahun terlewati, kita punya keyakinan yang sama tentang masa depan. Bersamamu, aku membayangkan kelak bisa duduk berdampingan di pelaminan. Hidup bersama dan jadi sepasang suami istri sampai maut memisahkan.

Kebersamaan kita rasanya tanpa cela, meskipun akhirnya kita harus menerima bahwa hubungan yang dijalani tak bisa bertahan selamanya

Kamu adalah sumber kebahagiaanku. Sebaliknya, kamu pun merasakan hal yang sama. Hubungan yang kita jalani rasa-rasanya tanpa cacat maupun cela. Orang lain yang melihat kebersamaan kita pun selalu berpendapat sama. Ya, sikap dewasa yang menjadikan hubungan kita minim drama. Setiap ada masalah yang mengganjal, kita akan berusaha menyelesaikannya dengan bicara.

Sayangnya, sebuah hubungan memang tak hanya melibatkan kita berdua. Tanpa restu keluarga, memaksa untuk bersama rasanya terlalu sia-sia. Mengabaikan keluarga hanya demi kebahagiaan kita juga terkesan egois. Di titik ini, kedewasaanlah yang akhirnya menuntun kita untuk menerima. Meskipun terasa menyakitkan, menyerah jauh lebih bijaksana daripada bersikeras untuk bersama.

Tak mudah ketika harus jauh dari kamu yang biasa menemani hari-hariku. Putus denganmu terasa seperti kehilangan orbit hidup utamaku

“The worst feeling in the world is when you know that you both love each other but still you just can’t be together.”

Patah hati atau putus cinta akan selalu datang sepaket dengan rasa sakitnya. Jika biasanya selalu ada kamu yang menemani hari-hariku, kini aku harus siap melakoni segala sesuatunya sendiri. Bohong jika aku tak merasakan sepi setelah kamu pergi. Memikirkan perpisahan kita bahkan membuatku seperti ingin mati.

Wajar jika setelahnya aku jadi begitu rapuh. Aku kehilangan sebagian cahaya hidupku, bahkan orbit hidup utamaku. Tanpa kamu, hidup rasa-rasanya jauh lebih berat untuk dijalani. Tak ada tempatku berbagi masalah dan keluh kesah. Tak ada kamu yang bahunya selalu siap jadi tempatku bersandar di kala lelah.

Rasa cinta dan sayang yang aku punya tak bisa hilang dalam sekejap mata. Aku butuh waktu untuk berdamai dengan keadaan, dan banyak doa untuk merelakan

Sesakit apapun sebuah perpisahan, tak ada pilihan selain menerima. Karena ingin berusaha sekuat apa, toh kita memang tak lagi bisa bersama. Sayangnya, perasaan bukanlah tisu sekali pakai yang bisa dibuang setelah selesai. Rasa cinta dan sayang yang sekian lama kita punya tak akan bisa hilang dalam sekejap mata. Sekalipun kamu tak lagi ada di sisiku, rasa ini bahkan akan tetap tinggal dan entah kapan bisa hilang.

Namun, waktu biasanya jadi solusi dari segala kerisauan hati. Waktu pula yang bisa jadi obat paling mujarab bagi berbagai macam jenis sakit hati. Mungkin, aku hanya butuh lebih banyak waktu untuk sendiri. Merenungi keadaan dan segala yang terjadi tak sesuai harapan. Kesepian dan kesendirian bisa jadi mengajarkanku tentang arti ikhlas dan merelakan.

Rasa nyaman saat bersamamu tak bisa ditukar dengan apapun juga. Sulit rasanya menemukan pendamping baru yang seperti kamu

Nyaman adalah satu-satunya yang aku rasakan saat bersamamu. Hubungan kita tak pernah dipenuhi drama-drama khas pasangan muda yang kadang membuatnya terasa melelahkan untuk dijalani. Denganmu, aku bisa jadi diriku sendiri. Tak perlu susah payah demi terlihat sempurna di depanmu. Apa adanya diriku, segala baik dan buruk sifatku bisa kamu terima.

Meski putus kali ini terasa sangat meyakinkan, aku menyadari bahwa kelak sakit hatiku akan sembuh sendiri. Dan bukan tak mungkin aku akan menemukan orang lain dan cinta yang baru lagi. Tapi, adakah yang seperti kamu? Adakah orang lain yang bisa aku cintai sebesar cintaku untukmu? Apa ada yang bisa membuatku merasa benar-benar nyaman dalam sebuah hubungan, selain kamu?

Aku seperti pasien yang kecanduan. Semakin berusaha melupakan, semakin kamu tak bisa hilang dari ingatan

“Aku bukannya tak mau berusaha, tapi melupakan kamu rasanya seperti neraka…”

Ketika cerita kita harus menemui akhirnya, aku “dipaksa” kuat untuk melanjutkan hidupku sendiri. Sekuat tenaga aku berusaha mengubur ingatan tentangmu. Ingatan dan kenangan yang “haram” dipelihara karena semakin mengingatnya akan membuatku semakin lemah.

Sayangnya, sekeras apapun aku berusaha, melupakan segala tentang kamu jelas tak mudah. Sengaja kuhapus lagu-lagu yang dahulu biasa kita dengarkan bersama. Tak sekalipun aku berniat mampir atau bahkan sekadar lewat warung makan favorit kita berdua. Memeriksa aktivitasmu di lini masa Facebook maupun Twitter pun tak sekali-kalinya aku lakukan. Tapi kenapa semakin keras berusaha, aku justru semakin mengingatmu?

Kamu pasti tahu, betapa bodohnya aku menghadapi perpisahan. Betapa lambatnya otak ini mencerna usai yang niscaya. Saat jatuh cinta padamu dulu, aku menulis banyak-banyak. Mungkin sebanyak itu juga kini aku perlu menulis untuk bisa melupakanmu.

Bersamamu masuk kategori hari-hari terindah dalam eksistensiku sebagai manusia. Bersama kamu aku sadar, ada sisi dalam diri ini yang bisa mencintai orang sedalam itu. Benteng tinggi luruh, terganti kasih yang utuh.

Mencintaimu membuka mata, bahwa pada akhirnya aku ini tetap manusia biasa. Yang cukup bahagia menyapu dan memasak. Berpuas diri saat kamu lahap menyantap makanan yang kusiapkan. Rela bila kelak kamu memintaku di rumah saja dan tak bekerja.

Orang bilang aku hanya tak bisa lepas, bukannya mencintaimu. Tapi aku kira hanya cinta yang mampu mengajari dan menyakiti orang setega itu.

Ada pepatah lama yang harus kita amini. Terdengar menggelikan, tapi ia adalah sebenar-benar kenyataan. Cinta tidak pernah salah. Yang salah adalah cara kita mencintai. Sudah tahu tidak bisa bersama, tapi masih keras kepala.

Sudah tahu terlalu berbeda. Mulai dari cara berdoa hingga ke frekuensi cita-cita. Kau dan aku masih saja gigih saling jatuh cinta. Perpisahan dua insan ngotot ini memang tak bisa dihindari. Ia justru jadi pengingat, kita akan lebih leluasa mengejar mimpi jika berjalan sendiri-sendiri.

Hidup bukanlah perjalanan hura-hura; berbahagia di masa muda- menua – bekerja- lalu mati.

Paling tidak hidupku tidak kuharap tergambar seperti itu.

Kamu, yang bahunya sempat jadi tempat favorit untuk melepas kepenatan.

Yang muka lelapnya sanggup kupandangi semalaman: inilah jawaban atas harapan yang selama ini diam-diam terus kita panjatkan.

Saat berpisah pelan-pelan membuat kita makin sulit melepaskan, Dia menghancurkan rumah rapuh kita dalam satu hentakan tangan. Tak ada lagi ruang untuk merajuk, tak ada lagi kesempatan mencuri waktu agar bisa saling peluk. Kali ini, tak akan ada lagi kata rujuk.

Sakitkah aku? Jika mendadak menangis ditengah rutinitas kerja adalah definisi kesakitan, maka hingga kini aku masih jadi pesakitan yang rapuh.

Tapi Sayang, perpisahan ini juga tak ayal membebaskan. Tak ada lagi batas absurd yang membuatmu sering disalahkan, tak ada lagi air mata yang muncul dari kecemburuan yang tak berhak diungkapkan.

Kini, kau bisa mencintai yang lain dengan sepenuh hati. Aku pun jadi lebih tahu diri, tidak layak lagi menampakkan gelagat sakit hati.

Kau dan aku sama-sama pantas mendapatkan perjalanan baru yang minim emosi. Tanpa tangis dan egoisme. Tanpa tindakan dan kata-kata yang mengecewakan hati. Kita berhak menemukan dia, yang dengan hangat menyambut di ujung hari. Seseorang yang akan mampu menyembuhkan luka dan babak belur hati ini.

Akan ada masa kita meremang karena sepi. Berharap ada tangan yang mengusap punggung, ringan memanjakan tanpa perlu harus diberitahu lagi. Rindu memang tak bisa dihindari. Tapi akan culas rasanya kalau harus mengebiri hak anak-anak kita yang akan lahir nanti.

Dewasa, barangkali menuntut keikhlasan untuk menyadari bahwa masing-masing dari kita hanyalah persinggahan sementara.

Memulai hubungan baru tak semudah bayanganku. Aku selalu sibuk mengulang pertanyaan: apa aku bisa bahagia jika kutitipkan hatiku pada selain kamu?

 Sejak dulu aku tak pernah mudah jatuh cinta. Bagiku, perkara menitipkan hati harus harus masak-masak dipikirkan. Tapi kamu adalah pengecualian. Aku bahkan tak butuh waktu lama untuk percaya hingga akhirnya jatuh di pelukanmu hingga sekian lama. Kamu memang berbeda, tak salah jika kulabeli dirimu sebagai yang paling sempurna dari mantan-mantanku lainnya.

Kamu mungkin tak merasa, tapi kehadiranmu dalam hidupku jelas mengubah banyak hal. Setelah kepergianmu, aku makin perhitungan soal membuka hati. Selain tak mau kecewa dan sakit hati lagi, aku selalu sibuk membanding-bandingkan. Siapapun dia yang mendekat nyatanya pasti kalah telak jika kubandingkan denganmu. Belum ada yang bisa meluluhkan hatiku sehebat kamu.

Tapi aku pun menyadari, kamu tetaplah mantan yang mustahil akan kembali. Kisahku denganmu sudah selesai, tak usah berharap kita bisa seperti dulu lagi

Aku tahu. Enggan berdamai dengan keadaan hanya akan membuat hidupku makin berantakan. Selama belum bisa menerima kenyataan, aku hanya akan terus merapal harapan-harapan kosong. Membayangkan kemungkinan untuk berbalikan dan memperbaiki hubungan justru membuatku semakin kesakitan.

“We may forget the person, but memories stay there forever.”

Seindah apapun kisah kita dulu, cukuplah semuanya jadi kenangan saja. Tak perlu diingat-ingat, pun tak usah kusimpan rapat-rapat. Bagaimana pun, kamu sudah jadi bagian dari diriku. Kamulah bagian terindah sepanjang kisah perjalanan hidupku. Meski kamu hanyalah sebuah persinggahan, aku terima kenyataan ini dengan hati yang lapang. Kita selesai dan mari bersiap untuk menjalani hidup yang selanjutnya.

Sambil memantapkan hati, izinkan aku memberimu tempat tersendiri. Untukmu mantan terindah, yang sampai kapan pun tak akan terganti

Aku tak keberatan jika kenangan tentangmu akan selamanya tinggal dalam ingatanku. Aku pun rela jika sebagian tempat dihatiku sudah kuberikan untukmu. Entah sampai kapan kamu akan ada di sana, mungkin selamanya dan itu pun tak apa-apa. Merawat kenangan tentangmu bukan dosa selama aku bisa bijaksana dan tak menyakiti siapa-siapa.

Aku berjanji. Kelak aku pasti jatuh cinta lagi. Aku percaya, cinta akan datang dengan aroma dan rasa yang berbeda. Tak harus dia yang seperti kamu, akan kutitipkan hatiku pada siapapun dia asalkan aku bisa percaya. Hubungan yang baru juga akan baik-baik kujaga dan semoga kelak segera kutemukan dia yang jadi pendampingku berikutnya.

Kelak, akan ada orang lain yang benar-benar menggenapkan. Senikmat apapun tempat persinggahan, kau dan aku tetap harus melanjutkan perjalanan.

Terima kasih sudah memperkenalkanku pada istilah-istilah filsafat aneh yg pertama kali kudengar seumur hidup. Terima kasih sudah menceritakan tentang cerita-cerita fantasi yg belum pernah aku tahu. Terima kasih sudah sempat mebawaku ke tempat-tempat luar biasa yg memberuntungkanku bisa kesana bersamamu.

Terima kasih, sudah pernah datang.

For the good and the bad, for the love and all the stabs, for the kindness and brutality — you partly made me who I am right now. And for that I am thankful.

Medan perjuangan kita sudah tidak lagi di satu segitiga sama sisi. Kini hanya doaku yang kuharap tetap menjangkaumu saban hari.

Selamat tinggal.

Selamat jalan.

Kalau kelak kau hendak keras kepala dan jatuh cinta dengan bodoh lagi, ingatlah aku. Persinggahan yang tak berhenti mendoakanmu.

“Apa kabarmu mantan terindahku? Semoga kamu pun masih merawat baik-baik tempatku di hatimu…”


Sampai kelak kita bertemu lagi.....

6 Cerita Romantis Islami di Zaman Rasulullah




Siapa yang tidak tahu cerita heroik para pejuang dakwah di zaman Rasulullah, sedikit banyak kita tentu pernah mendengar bagaimana perjuangan Rasulullah beserta sahabat ketika berada di medan perang. Tidak sedikit pula yang kagum pada karakteristik rasulullah juga para sahabat yang setia menemaninya di jalan dakwah.

Namun selain kisah heroik mereka di zaman itu, ada pula cerita romantis yang pernah mereka alami, dan kita dapat ambil pelajarannya untuk kita tarik ke zaman saat ini. Tentu tidak ada sejarah yang tidak bisa kita ambil hikmahnya bukan? Meski kita sudah berabad jarak dengan mereka, namun kisah-kisah itu tentu akan terulang mungkin oleh sahabat kita, adik kita, tetangga kita, bahkan mungkin oleh kita sendiri. Ketika dihadapkan pada kasus yang sama, kita bisa memilih mengikuti apa yang pernah dicontohkan oleh para teladan kita, atau justru memilih cara lain yang besar kemungkinannya kita berada di jalan yang salah. Mari kita simak cerita romantis islami Rasulullah dan para sahabat pada zaman itu. Kemudian Ambil pelajaran dari kisah tersebut.




Rasulullah dan Khadijah binti Khuwailid

Kisah mereka akan menjadi teladan cerita romantis islami terbaik sepanjang masa. Dari sekian banyak kisah tentang Rasulullah dan khadijah yang sering kita dengar, ada satu kisah yang menurut saya menarik. Ternyata sebelum rasul menikah dengan Khadijah, beliau telah memendam perasaan juga terhadap Khadijah kala itu. Alkhisah ketika sahabat Khadijah yang bernama Nafisah binti Muniah menanyakan kesediaan nabi untuk menikahi Khadijah, maka beliau menjawab. “Bagaimana caranya?”

Caran Rasulullah bertanya menggambarkan seolah-olah ia telah menunggu masa itu sejak lama. Kehidupan rumah tangga Rasulullah dan Khadijah berjalan dengan penuh keromantisan juga perjuangan yang sangat berarti. Hingga tiba masa dimana Rasulullah harus merelakan ajal menjemput istri kesayangannya yakni Khadijah Radhiallahu anha.

Setahun setelah Khadijah wafat, ada seorang sahabiah datang menemui Rasulullah. Wanita ini kemudian bertanya. “Ya, Rasulullah. Mengapa engkau tidak menikah? Engkau memiliki 9 keluarga dan harus menjalankan seruan besar.” Sambil menangis Rasulullah menjawab. “Masih adakah orang lain setelah setelah Khadijah?” Jika bukan karena perintah langsung dari Allah,  mungkin saja Rasulullah tidak akan pernah menikah lagi untuk selama-lamanya karena ketulusannya mencintai Khadijah Radhiallahu anha.


 Kisah Fatimah dan Ali Bin Abu Thalib


Dua pasangan ini mengajarkan kita tentang menjaga perasaan dengan cara yang baik. Mengutamakan ketaatan kepada Allah diatas segalanya, termasuk perasaan terhadap sesema manusia yang kian berkecamuk dalam dadanya. Namun sayang, fenomenanya saat ini. Sudah jarang sekali muda-mudi yang memiliki rasa malu seperti Fatimah Azzahra dan Ali bin Abi Thalib. Sudah terlalu sering kita menyaksikan mereka yang dengan mudahnya mengumbar kemesraan jelas.

Mari kita kembalikan kisah romantisnya pada masa Fatimah dan Ali. Ketika itu Ali hanya seorang pemuda biasa yang hanya memiliki harta baju besi yang sedang ia gadaikan. Ia mencintai Fatimah, namun dirinya merasa tidak pantas jika harus mendatangi Rasulullah untuk menikahi Fatimah tanpa kemapanan harta yang cukup. Dalam ikhtiarnya memantaskan diri untuk Fatimah, selalu saja ada cerita yang ia dengar dan hampir mematahkan semangatnya. Seperti ketika ia mendengar cerita Abu Bakar dengan kesalihan dan kemapanan yang dimilikinya mendatangi Rasulullah bermaksud untuk menjadikan Fatimah sebagai Istrinya. Mendengar itu Ali kecewa namun dia lebih mendahulukan kebahagiaan Fatimah dibandingkan dirinya, ia berusaha menata hati untuk mengikhlaskan. Karena dia yakin Fatimah akan lebih bahagia dengan Abu Bakar jika dibandingkan dengan dirinya yang tidak punya apa-apa. Namun kemudian Rasulullah tidak menerima lamaran Abu Bakar, dengan alasan Fatimah masih terlalu muda. Begitupan dengan Umar dan Utsman, kedua sahabat Ali yang juga tidak kalah salih dan kaya itu pun ditolak oleh Rasulullah. Betapa kejadian itu kian menimbulkan keresahannya timbul tenggelam.

Suatu hari datanglah Ali menemui Rasulullah dengan segala kekurangan dan kelebihannya.Ia  memberanikan diri menghadap rasulullah dan menyampaikan maksud hatinya untuk meminta Fatimah menjadi istrinya, singkat cerita, Rasulullah menerimanya.

Lalu keromantisan Fatimah dan Ali berlanjut terus hingga mereka menjadi pasangan suami dan istri. Suatu hari pernah Fatimah Az Zahra mengatakan sesuatu tanpa disengaja dan perkataan itu membuat hati Ali terusik. Menyadari bahwa ia bersalah, Fatimah segera meminta maaf berulang-ulang kali kepada Ali.

Melihat wajah Ali tak juga berubah, maka Fatimah Az-Zahra berlalri-lari kecil di sekitar Ali. Sebanyak 7 kali ia ‘tawaf’ sambil merayu-rayu mohon untuk dimaafkan. Melihat tingkah Fatimah di hadapannya, Ali tak dapat menahan senyum. Kemudian ia tersenyum dan memaafkan kesalahan isterinya. Selain memiliki sifat yang romantis terhdap suami, ia juga anak yang memiliki sisi romantisme terhadap ayahnya (buka link beriku . . . abiummi.com ). Mendengar kejadian itu, Rasulullah berkata pada putrinya. “Wahai Fatimah, kalaulah dikala itu engkau mati sedangkan suamimu tidak memaafkanmu, niscaya aku tidak akan menyolatkan jenazahmu.”

Dalam hal ini, Rasulullah sedang mengajarkan pada putrinya (juga pada kita para isteri salihah) tentang bagaimana kedudukan seorang suami sebagai pemimpin di keluarga. Agar para isteri mampu menghargai suaminya dan mau menjaga perasaan suami. Kepatuhan seorang Fatimah juga ia lakukan karena Ali adalah suami yang memang pantas untuk diapatuhi dan dituruti kata-katanya. Hadits dianjurkannya seorang istri patuh kepada suami ada pula dalam hadits berikut. “Wanita mana saja yang meninggal dunia, kemudian suaminya merasa ridho terhadapnya, maka ia akan masuk surga.” (HR Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Imam Tarmidzi).

Hadits lainnya juga dikatakan. “Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktunya, melaksanakan shaum pada bulannya, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja ia kehendaki.” (HR Ibnu Hibban dalam Shahihnya).


 


Kisah Rasulullah dan Aisyah

Cinta Rasulullah kepada Aisyah dan kepada Khadijah tentu berbeda. Meski jika Rasulullah setiap kali ditanya tentang siapa yang paling dicintainya beliau pasti akan menjawab “Aisyah”. Sedangkan Rasulullah mencinta Khadijah sebagai karunia dari Allah. Rasullah mencintai Aisyah karena gabungan anatara pesona kecantikan, kepintaran, dan kematangan diri. Ummu salamah berkata, bahwa Rasulullah tidak dapat menahan diri jika bertemu dengan Aisyah.

Bahkan diusia Rasulullah yang semakin lanjut dan memiliki rentang usia yang cukup jauh dari Aisyah, Rasulullah dapat menyesuaikan dirinya untuk menjadi bagian dari dunia Aisyah pada usianya yang masih mudah. Keromantisan mereka diceritakan Imam Ahmad dan Abu Dawud dalam hadisnya. “Pernah Rasulullah mengajak istrinya, Aisyah, untuk berlomba lari dengannya. Rasulullah kalah. Lain waktu Rasulullah kembali mengajak Aisyah berlomba lari dan Rasulullah memenangkannya sehingga beliau tertawa seraya berkata, “Ini pembalasan yang dulu.”

Keromantisan lain yang Rasulullah tunjukan pada Aisyah adalah ketika ia minum. Ia meminum air di gelas yang telah aisyah minum dan meminum bagian gelas di bekas bibir Aisyah. Dan masih banyak lagi kehangatan Rasulullah yang ia tunjukan kepada Aisyah.

Sedangkan dalam cerita ini Rasulullah mengajarkan kepada kita bagaimana seorang suami perlu menyenangkan hari isterinya. Rasulullah pernah bersabda. “Segala sesuatu selain dzikrullah itu permainan dan kesia-siaan, kecuali terhadap empat hal; yaitu seorang suami yang mencandai istrinya, seseorang yang melatih kudanya, seseorang yang berjalan menuju dua sasaran (dalam permainan panah, termasuk juga dalam berlomba), dan seseorang yang berlatih renang.” (HR. An-Nasa’i. Shahih, kata Muhammad Abdul Halim Hamid).
 

Umar Bin Abdul Aziz dan Fatimah Binti Abdul Malik

Cinta yang didasari ketaatan karena Allah, akan tumbuh abadi jika dibandingkan dengan cinta karena alasan lainnya, terlebih karena alasan paras dan harta yang sewaktu-waktu akan hilang. Cerita romantis islami lainnya datang dari sahabat Rasulullah yang paling tegas dan terkenal dengan kegagahannya yakni Umar bin Abdul Aziz. Beliau menikah dengan perempuan cantik dan baik akhlaknya bernama Fatimah binti Abdul Malik. Dua pasangan yang sama-sama berasal dari keluarga bangsawan, dan sama-sama memiliki perangai yang baik ini kisahnya terkenal sepanjang sejarah kota Damaskus. Jika dilihat dari latar belakang dua keluarga pasangan ini, banyak yang mengira bahwa keluarga mereka akan hidup bahagia dengan gelimang harta hingga mereka tua. Namun kenyataannya tidak seperti itu.

Ketakwaan Umar terhadap Allah, membuat ia dengan tegas memutuskan untuk membaktikan seluruh harta, waktu, dan tenaganya untuk negra dan untuk umat yang dicintainya. Ia menyerahkan semua kekayaannya pada Negara, dan membawa serta Fatimah binti Abdul Malik untuk tinggal di sebuah gubuk kecil bersamanya. Ia mengajarkan pada kita semua bahwa kedudukan tertinggi dalam sebuah pemerintahan, tak lantas membuat seorang pemimpin harus bermewah-mewahan dengan harta.  Dan Fatimah mengajarkan pada kaum perempuan,  tentang kepatuhan terhadap suami, tentang mendukung sepenuhnya apa yang menjadi keputusan suami dalam jalan dakwah. Dan satu lagi pelajarannya adalah tentang hidup sabar dan ikhlas dalam kesederhanaan bersama suami yang dicintainya.

Diceritakan suatu hari ada seorang wanita datang ke gubuk mereka. Wanita itu berkata pada Fatimah, “Alangkah baiknya bila Anda menyingikir dari pandangan tukang batu itu. Sebab ia selalu melihat ke wajah Anda.” Fatimah kemudian tersenyum dan menjawab pada wanita tersebut. “Tukang batu itu adalah suamiku sang Amirul Mukminin.”

Kedua pasangan ini mengajarkan bahwa harta bukanlah segalanya, hidup akan tetap bahagia meski mereka harus melepaskan segala keberlimpahan harta yang dulu pernah mereka miliki untuk digantikan dengan kehidupan yang jauh lebih sederhana dari kehidupan biasnaya. Tidak terhitung seberapa sering mereka mengalami kejadian tidak memiliki uang sepeser pun. Fatimah dan umar mengalami hidup dengan hanya memiliki selehai gaun, baju umar yang sudah memiliki tambalan tidak membuatnya malu, justru itu membuanya bangga dengan Umar. Karena kualitas seorang pria tidak diukur dari baju yang ia kenakan, tetapi lebih kepada apa yang telah ia lakukan untuk orang lain.

Setelah Umar wafat, Fatimah dinikahi oleh seorang bangsawan kaya. Namun bagi Fatimah kebahagian yang ia alami bersama Umar tidak akan tergantikan oleh sebesar apapun uang yang diterimanya. Hidup sederhana atas dasar ketaatan kepada Allahlah yang sejatinya membuat mereka hidup bahagia hingga hari tua.
 


Abdurrahman Bin Abu Bakar Assidik dan Atika

Putra dari Abu Bakar Assidik ini begitu mencintai istrinya yang bernama Atika, begitupun sebaliknya. Melihat hal ini, Abu Bakar merasa khawatir jika cinta mereka akan melalaikan keduanya dari beribadah kepada Allah. Kemudian Abu Bakar meminta anaknya untuk menceraikan istrinya tersebut. Ia mematuhi perintah ayahnya meski kecintaan Abdurrahman masihlah begitu besar terhadap istrinya dan ia tidak dapat melupakan istrinya.

Tanpa Atika dalam hidupnya, ia larut dalam duka meski sebisa mungkin ia berusaha untuk tegar. Hingga kedukaannya melahirkan sebuah syair berisi seperti ini:

Demi Allah, tidaklah aku melupakanmu

Walau mentari tak terbit meninggi

Dan tidaklah terurai air mata merpati itu

Kecuali berbagi hati

Tak pernah kudapati orang sepertiku

Menceraikan orang seperti dia

Dan tidaklah orang seperti dia dithalaq karena dosanya

Dia berakhlaq mulia, beragama, dan bernabikan Muhammad

Berbudi pekerti tinggi, bersifat pemalu dan halus tutur katanya

Karena kesabaran keduanya mengahadapi ujian yang diberikan ayahnya. Akhirnya hati sang ayah pun luluh. Mereka diizinkan rujuk kembali. Dan Abdurrahman membuktikan beberapa saat setelah itu ia syahid di medan perang. Ia buktikan pada ayahnya bahwa cintanya terhadap istrinya tidak akan mengorbankan ibadah dan jihadnya di jalan Allah.




Thalhah ibn ‘Undaidillah dan Aisyah

“Dan apabila kalian meminta suatu hajat kepada isteri Nabi itu, maka mintalah pada mereka dari balik hijab. Demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka. Kalian tiada boleh menyakiti Rasulullah dan tidak boleh menikahi isteri-isterinya sesudah wafatnya selama-lamanya.”

Ayat ini muncul ketika Thalhah ibn Ubaidillah bergumam dalam hatinya. “Akan kunikahi Aisyah jika Nabi telah wafat.” Siapakah Thalhah itu? Thalhah masih terbilang sebagai sepupu dari Aisyah binti Abu Bakar istri Rasulullah.

Suatu hari Thalhah sedang berbincang dengan Aisyah. Kemudian Rasulullah datang menghampiri keduanya dengan air muka tak suka melihat pemandangan tersebut. Rasulullah meminta Aisyah dengan isyarat untuk masuk ke dalam bilik. Kemudian wajah Thalhah memerah dan ia pergi meninggalkan Rasulullah dengan gumam di dalam hatinya karena kesal. “Beliau melarangku berbincang dengan ‘Aisyah. Tunggu saja, jika beliau telah diwafatkan Allah, takkan kubiarkan orang lain mendahuluiku melamar ‘Aisyah.”

Karena kejadian inilah ayat tersebut turun. Dan ketika ayat itu dibacakan, Thalhah menangis menyesali perbuatannya. Ia bertobat kepada Allah dengan memerdekakan budaknya dan menyumbangkan sepuluh untanya di jalan Allah, selain itu ia juga menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki.

Ketaatannya kepada Allah dan Rasulullah tidak dapat dikalahkan oleh perasaan lain yang haram baginya. Namun kasih yang tak mungkin sampai ini masih tetap ada sehingga ia melimpahkan kasih sayang itu kepada putrinya, sehingga menamai putrinya dengan nama Aisyah binti Thalhah. Banyak hadits juga yang menceritakan kecemerlangan Aisyah binti Thalhah pada zamannya. Ia memiliki kecantikan dan kepintaran yang hampir sama dengan Aisyah binti Abu Bakar.