“Hey kamu, mantan terindahku, masihkah
mengingat aku yang pernah mampir dalam hidupmu?”
Pertemuan kita tak pernah disangka-sangka. Aku dan kamu
saling jatuh cinta lewat cara-cara yang sederhana
Meski tinggal di kota
yang sama, bahkan bisa dibilang satu atap setiap pagi-sore bahkan pernah
sesekali kamu menginap, kita adalah dua orang yang tak saling mengenal
sebelumnya. Namun, sebuah pertemuan yang tak disengaja memaksa kita berjabat
tangan dan saling bertanya nama. Kamu yang adalah instruktur magangku yng tak
pernah terbayangkan bisa aku miliki setelahnya. Keputusan untuk bertukar nomor
ponsel pun jadi penanda kedekatan selanjutnya.
Awalnya, menerima SMS
dan telepon darimu terasa canggung bagiku. Tapi harus diakui, kamu memang
piawai mencairkan suasana. Berdua, kita bisa bicara tentang apa saja. Soal
pekerjaan, band-band metal yang jadi favoritmu, hingga novel-novel fiksi yang
kamu gilai.
Entah siapa yang lebih
dulu jatuh cinta, tapi aku dan kamu akhirnya sepakat bersama. Kita mantap untuk
pacaran dan segala yang terjadi terasa begitu sempurna walaupun di bulan kedua
hubungan kita, harus menjalani LDR denganmu karena aku harus kembali ke kota
tempat aku tinggal dan bersekolah dulu. Sejak awal jadian hingga tahun demi
tahun terlewati, kita punya keyakinan yang sama tentang masa depan. Bersamamu,
aku membayangkan kelak bisa duduk berdampingan di pelaminan. Hidup bersama dan
jadi sepasang suami istri sampai maut memisahkan.
Kebersamaan kita rasanya tanpa cela, meskipun akhirnya
kita harus menerima bahwa hubungan yang dijalani tak bisa bertahan selamanya
Kamu adalah sumber
kebahagiaanku. Sebaliknya, kamu pun merasakan hal yang sama. Hubungan yang kita
jalani rasa-rasanya tanpa cacat maupun cela. Orang lain yang melihat
kebersamaan kita pun selalu berpendapat sama. Ya, sikap dewasa yang menjadikan
hubungan kita minim drama. Setiap ada masalah yang mengganjal, kita akan
berusaha menyelesaikannya dengan bicara.
Sayangnya, sebuah
hubungan memang tak hanya melibatkan kita berdua. Tanpa restu keluarga, memaksa
untuk bersama rasanya terlalu sia-sia. Mengabaikan keluarga hanya demi
kebahagiaan kita juga terkesan egois. Di titik ini, kedewasaanlah yang akhirnya
menuntun kita untuk menerima. Meskipun terasa menyakitkan, menyerah jauh lebih
bijaksana daripada bersikeras untuk bersama.
Tak mudah ketika harus jauh dari kamu yang biasa
menemani hari-hariku. Putus denganmu terasa seperti kehilangan orbit hidup
utamaku
“The worst feeling in the world is when you
know that you both love each other but still you just can’t be together.”
Patah hati atau putus
cinta akan selalu datang sepaket dengan rasa sakitnya. Jika biasanya selalu ada
kamu yang menemani hari-hariku, kini aku harus siap melakoni segala sesuatunya
sendiri. Bohong jika aku tak merasakan sepi setelah kamu pergi. Memikirkan perpisahan
kita bahkan membuatku seperti ingin mati.
Wajar jika setelahnya
aku jadi begitu rapuh. Aku kehilangan sebagian cahaya hidupku, bahkan orbit
hidup utamaku. Tanpa kamu, hidup rasa-rasanya jauh lebih berat untuk dijalani.
Tak ada tempatku berbagi masalah dan keluh kesah. Tak ada kamu yang bahunya
selalu siap jadi tempatku bersandar di kala lelah.
Rasa cinta dan sayang yang aku punya tak bisa hilang
dalam sekejap mata. Aku butuh waktu untuk berdamai dengan keadaan, dan banyak
doa untuk merelakan
Sesakit apapun sebuah
perpisahan, tak ada pilihan selain menerima. Karena ingin berusaha sekuat apa,
toh kita memang tak lagi bisa bersama. Sayangnya, perasaan bukanlah tisu sekali
pakai yang bisa dibuang setelah selesai. Rasa cinta dan sayang yang sekian lama
kita punya tak akan bisa hilang dalam sekejap mata. Sekalipun kamu tak lagi ada
di sisiku, rasa ini bahkan akan tetap tinggal dan entah kapan bisa hilang.
Namun, waktu biasanya
jadi solusi dari segala kerisauan hati. Waktu pula yang bisa jadi obat paling
mujarab bagi berbagai macam jenis sakit hati. Mungkin, aku hanya butuh lebih
banyak waktu untuk sendiri. Merenungi keadaan dan segala yang terjadi tak
sesuai harapan. Kesepian dan kesendirian bisa jadi mengajarkanku tentang arti
ikhlas dan merelakan.
Rasa nyaman saat bersamamu tak bisa ditukar dengan
apapun juga. Sulit rasanya menemukan pendamping baru yang seperti kamu
Nyaman adalah
satu-satunya yang aku rasakan saat bersamamu. Hubungan kita tak pernah dipenuhi
drama-drama khas pasangan muda yang kadang membuatnya terasa melelahkan untuk
dijalani. Denganmu, aku bisa jadi diriku sendiri. Tak perlu susah payah demi
terlihat sempurna di depanmu. Apa adanya diriku, segala baik dan buruk sifatku
bisa kamu terima.
Meski putus kali ini
terasa sangat meyakinkan, aku menyadari bahwa kelak sakit hatiku akan sembuh
sendiri. Dan bukan tak mungkin aku akan menemukan orang lain dan cinta yang
baru lagi. Tapi, adakah yang seperti kamu? Adakah orang lain yang bisa aku
cintai sebesar cintaku untukmu? Apa ada yang bisa membuatku merasa benar-benar
nyaman dalam sebuah hubungan, selain kamu?
Aku seperti pasien yang kecanduan. Semakin berusaha
melupakan, semakin kamu tak bisa hilang dari ingatan
“Aku bukannya tak mau berusaha, tapi melupakan
kamu rasanya seperti neraka…”
Ketika cerita kita
harus menemui akhirnya, aku “dipaksa” kuat untuk melanjutkan hidupku sendiri.
Sekuat tenaga aku berusaha mengubur ingatan tentangmu. Ingatan dan kenangan
yang “haram” dipelihara karena semakin mengingatnya akan membuatku semakin
lemah.
Sayangnya, sekeras
apapun aku berusaha, melupakan segala tentang kamu jelas tak mudah. Sengaja
kuhapus lagu-lagu yang dahulu biasa kita dengarkan bersama. Tak sekalipun aku
berniat mampir atau bahkan sekadar lewat warung makan favorit kita berdua.
Memeriksa aktivitasmu di lini masa Facebook maupun Twitter pun tak
sekali-kalinya aku lakukan. Tapi kenapa semakin keras berusaha, aku justru
semakin mengingatmu?
Kamu pasti tahu, betapa
bodohnya aku menghadapi perpisahan. Betapa lambatnya otak ini mencerna usai
yang niscaya. Saat jatuh cinta padamu dulu, aku menulis banyak-banyak. Mungkin
sebanyak itu juga kini aku perlu menulis untuk bisa melupakanmu.
Bersamamu masuk
kategori hari-hari terindah dalam eksistensiku sebagai manusia. Bersama kamu aku
sadar, ada sisi dalam diri ini yang bisa mencintai orang sedalam itu. Benteng
tinggi luruh, terganti kasih yang utuh.
Mencintaimu membuka
mata, bahwa pada akhirnya aku ini tetap manusia biasa. Yang cukup bahagia menyapu dan
memasak. Berpuas diri saat kamu lahap menyantap makanan yang kusiapkan. Rela
bila kelak kamu memintaku di rumah saja dan tak bekerja.
Orang
bilang aku hanya tak bisa lepas, bukannya mencintaimu. Tapi aku kira hanya
cinta yang mampu mengajari dan menyakiti orang setega itu.
Ada pepatah lama yang
harus kita amini. Terdengar menggelikan, tapi ia adalah sebenar-benar
kenyataan. Cinta tidak pernah salah. Yang salah adalah cara kita mencintai.
Sudah tahu tidak bisa bersama, tapi masih keras kepala.
Sudah tahu terlalu
berbeda. Mulai dari cara berdoa hingga ke frekuensi cita-cita. Kau dan aku
masih saja gigih saling jatuh cinta. Perpisahan dua insan ngotot ini memang tak
bisa dihindari. Ia justru jadi pengingat, kita akan lebih leluasa mengejar
mimpi jika berjalan sendiri-sendiri.
Hidup bukanlah perjalanan hura-hura; berbahagia di masa
muda- menua – bekerja- lalu mati.
Paling tidak hidupku
tidak kuharap tergambar seperti itu.
Kamu, yang bahunya sempat jadi tempat favorit untuk
melepas kepenatan.
Yang
muka lelapnya sanggup kupandangi semalaman: inilah jawaban atas harapan yang
selama ini diam-diam terus kita panjatkan.
Saat berpisah
pelan-pelan membuat kita makin sulit melepaskan, Dia menghancurkan rumah rapuh kita
dalam satu hentakan tangan. Tak ada lagi ruang untuk merajuk, tak ada lagi
kesempatan mencuri waktu agar bisa saling peluk. Kali ini, tak akan ada lagi
kata rujuk.
Sakitkah aku? Jika
mendadak menangis ditengah rutinitas kerja adalah definisi kesakitan, maka
hingga kini aku masih jadi pesakitan yang rapuh.
Tapi Sayang, perpisahan
ini juga tak ayal membebaskan. Tak ada lagi batas absurd yang membuatmu sering
disalahkan, tak ada lagi air mata yang muncul dari kecemburuan yang tak berhak
diungkapkan.
Kini,
kau bisa mencintai yang lain dengan sepenuh hati. Aku pun jadi lebih tahu diri,
tidak layak lagi menampakkan gelagat sakit hati.
Kau dan aku sama-sama
pantas mendapatkan perjalanan baru yang minim emosi. Tanpa tangis dan egoisme.
Tanpa tindakan dan kata-kata yang mengecewakan hati. Kita berhak menemukan dia,
yang dengan hangat menyambut di ujung hari. Seseorang yang akan mampu
menyembuhkan luka dan babak belur hati ini.
Akan ada masa kita
meremang karena sepi. Berharap ada tangan yang mengusap punggung, ringan
memanjakan tanpa perlu harus diberitahu lagi. Rindu memang tak bisa dihindari.
Tapi akan culas rasanya kalau harus mengebiri hak anak-anak kita yang akan
lahir nanti.
Dewasa,
barangkali menuntut keikhlasan untuk menyadari bahwa masing-masing dari kita
hanyalah persinggahan sementara.
Memulai hubungan baru tak semudah bayanganku. Aku selalu
sibuk mengulang pertanyaan: apa aku bisa bahagia jika kutitipkan hatiku pada
selain kamu?
Sejak dulu aku tak pernah mudah jatuh cinta.
Bagiku, perkara menitipkan hati harus harus masak-masak dipikirkan. Tapi kamu
adalah pengecualian. Aku bahkan tak butuh waktu lama untuk percaya hingga
akhirnya jatuh di pelukanmu hingga sekian lama. Kamu memang berbeda, tak salah
jika kulabeli dirimu sebagai yang paling sempurna dari mantan-mantanku lainnya.
Kamu mungkin tak
merasa, tapi kehadiranmu dalam hidupku jelas mengubah banyak hal. Setelah
kepergianmu, aku makin perhitungan soal membuka hati. Selain tak mau kecewa dan
sakit hati lagi, aku selalu sibuk membanding-bandingkan. Siapapun dia yang
mendekat nyatanya pasti kalah telak jika kubandingkan denganmu. Belum ada yang
bisa meluluhkan hatiku sehebat kamu.
Tapi aku pun menyadari, kamu tetaplah mantan yang
mustahil akan kembali. Kisahku denganmu sudah selesai, tak usah berharap kita
bisa seperti dulu lagi
Aku tahu. Enggan
berdamai dengan keadaan hanya akan membuat hidupku makin berantakan. Selama
belum bisa menerima kenyataan, aku hanya akan terus merapal harapan-harapan
kosong. Membayangkan kemungkinan untuk berbalikan dan memperbaiki hubungan
justru membuatku semakin kesakitan.
“We may forget the person, but memories stay
there forever.”
Seindah apapun kisah
kita dulu, cukuplah semuanya jadi kenangan saja. Tak perlu diingat-ingat, pun
tak usah kusimpan rapat-rapat. Bagaimana pun, kamu sudah jadi bagian dari
diriku. Kamulah bagian terindah sepanjang kisah perjalanan hidupku. Meski kamu
hanyalah sebuah persinggahan, aku terima kenyataan ini dengan hati yang lapang.
Kita selesai dan mari bersiap untuk menjalani hidup yang selanjutnya.
Sambil memantapkan hati, izinkan aku memberimu tempat
tersendiri. Untukmu mantan terindah, yang sampai kapan pun tak akan terganti
Aku tak keberatan jika
kenangan tentangmu akan selamanya tinggal dalam ingatanku. Aku pun rela jika
sebagian tempat dihatiku sudah kuberikan untukmu. Entah sampai kapan kamu akan
ada di sana, mungkin selamanya dan itu pun tak apa-apa. Merawat kenangan
tentangmu bukan dosa selama aku bisa bijaksana dan tak menyakiti siapa-siapa.
Aku berjanji. Kelak aku
pasti jatuh cinta lagi. Aku percaya, cinta akan datang dengan aroma dan rasa
yang berbeda. Tak harus dia yang seperti kamu, akan kutitipkan hatiku pada
siapapun dia asalkan aku bisa percaya. Hubungan yang baru juga akan baik-baik kujaga
dan semoga kelak segera kutemukan dia yang jadi pendampingku berikutnya.
Kelak, akan ada orang
lain yang benar-benar menggenapkan. Senikmat apapun tempat persinggahan, kau
dan aku tetap harus melanjutkan perjalanan.
Terima kasih sudah
memperkenalkanku pada istilah-istilah filsafat aneh yg pertama kali kudengar
seumur hidup. Terima kasih sudah menceritakan tentang cerita-cerita fantasi yg
belum pernah aku tahu. Terima kasih sudah sempat mebawaku ke tempat-tempat luar
biasa yg memberuntungkanku bisa kesana bersamamu.
Terima kasih, sudah
pernah datang.
For the
good and the bad, for the love and all the stabs, for the kindness and
brutality — you partly made me who I am right now. And for that I am thankful.
Medan perjuangan kita
sudah tidak lagi di satu segitiga sama sisi. Kini hanya doaku yang kuharap
tetap menjangkaumu saban hari.
Selamat tinggal.
Selamat jalan.
Kalau kelak kau hendak
keras kepala dan jatuh cinta dengan bodoh lagi, ingatlah aku. Persinggahan yang
tak berhenti mendoakanmu.
“Apa kabarmu mantan terindahku? Semoga kamu
pun masih merawat baik-baik tempatku di hatimu…”
Sampai kelak kita
bertemu lagi.....