Siapa yang tidak
tahu cerita heroik para pejuang dakwah di zaman Rasulullah, sedikit banyak kita
tentu pernah mendengar bagaimana perjuangan Rasulullah beserta sahabat ketika
berada di medan perang. Tidak sedikit pula yang kagum pada karakteristik rasulullah
juga para sahabat yang setia menemaninya di jalan dakwah.
Namun selain
kisah heroik mereka di zaman itu, ada pula cerita romantis yang pernah mereka
alami, dan kita dapat ambil pelajarannya untuk kita tarik ke zaman saat ini.
Tentu tidak ada sejarah yang tidak bisa kita ambil hikmahnya bukan? Meski kita
sudah berabad jarak dengan mereka, namun kisah-kisah itu tentu akan terulang
mungkin oleh sahabat kita, adik kita, tetangga kita, bahkan mungkin oleh kita
sendiri. Ketika dihadapkan pada kasus yang sama, kita bisa memilih mengikuti
apa yang pernah dicontohkan oleh para teladan kita, atau justru memilih cara
lain yang besar kemungkinannya kita berada di jalan yang salah. Mari kita simak
cerita romantis islami Rasulullah dan para sahabat pada zaman itu. Kemudian
Ambil pelajaran dari kisah tersebut.
Rasulullah dan Khadijah binti Khuwailid
Kisah mereka akan
menjadi teladan cerita romantis islami terbaik sepanjang masa. Dari sekian
banyak kisah tentang Rasulullah dan khadijah yang sering kita dengar, ada satu
kisah yang menurut saya menarik. Ternyata sebelum rasul menikah dengan
Khadijah, beliau telah memendam perasaan juga terhadap Khadijah kala itu.
Alkhisah ketika sahabat Khadijah yang bernama Nafisah binti Muniah menanyakan
kesediaan nabi untuk menikahi Khadijah, maka beliau menjawab. “Bagaimana
caranya?”
Caran Rasulullah
bertanya menggambarkan seolah-olah ia telah menunggu masa itu sejak lama.
Kehidupan rumah tangga Rasulullah dan Khadijah berjalan dengan penuh
keromantisan juga perjuangan yang sangat berarti. Hingga tiba masa dimana
Rasulullah harus merelakan ajal menjemput istri kesayangannya yakni Khadijah
Radhiallahu anha.
Setahun setelah
Khadijah wafat, ada seorang sahabiah datang menemui Rasulullah. Wanita ini
kemudian bertanya. “Ya, Rasulullah. Mengapa engkau tidak menikah? Engkau
memiliki 9 keluarga dan harus menjalankan seruan besar.” Sambil menangis
Rasulullah menjawab. “Masih adakah orang lain setelah setelah Khadijah?” Jika
bukan karena perintah langsung dari Allah,
mungkin saja Rasulullah tidak akan pernah menikah lagi untuk
selama-lamanya karena ketulusannya mencintai Khadijah Radhiallahu anha.
Kisah Fatimah dan Ali Bin Abu Thalib
Dua pasangan ini
mengajarkan kita tentang menjaga perasaan dengan cara yang baik. Mengutamakan
ketaatan kepada Allah diatas segalanya, termasuk perasaan terhadap sesema
manusia yang kian berkecamuk dalam dadanya. Namun sayang, fenomenanya saat ini.
Sudah jarang sekali muda-mudi yang memiliki rasa malu seperti Fatimah Azzahra
dan Ali bin Abi Thalib. Sudah terlalu sering kita menyaksikan mereka yang
dengan mudahnya mengumbar kemesraan jelas.
Mari kita
kembalikan kisah romantisnya pada masa Fatimah dan Ali. Ketika itu Ali hanya
seorang pemuda biasa yang hanya memiliki harta baju besi yang sedang ia
gadaikan. Ia mencintai Fatimah, namun dirinya merasa tidak pantas jika harus
mendatangi Rasulullah untuk menikahi Fatimah tanpa kemapanan harta yang cukup.
Dalam ikhtiarnya memantaskan diri untuk Fatimah, selalu saja ada cerita yang ia
dengar dan hampir mematahkan semangatnya. Seperti ketika ia mendengar cerita
Abu Bakar dengan kesalihan dan kemapanan yang dimilikinya mendatangi Rasulullah
bermaksud untuk menjadikan Fatimah sebagai Istrinya. Mendengar itu Ali kecewa
namun dia lebih mendahulukan kebahagiaan Fatimah dibandingkan dirinya, ia
berusaha menata hati untuk mengikhlaskan. Karena dia yakin Fatimah akan lebih
bahagia dengan Abu Bakar jika dibandingkan dengan dirinya yang tidak punya
apa-apa. Namun kemudian Rasulullah tidak menerima lamaran Abu Bakar, dengan
alasan Fatimah masih terlalu muda. Begitupan dengan Umar dan Utsman, kedua
sahabat Ali yang juga tidak kalah salih dan kaya itu pun ditolak oleh
Rasulullah. Betapa kejadian itu kian menimbulkan keresahannya timbul tenggelam.
Suatu hari
datanglah Ali menemui Rasulullah dengan segala kekurangan dan
kelebihannya.Ia memberanikan diri
menghadap rasulullah dan menyampaikan maksud hatinya untuk meminta Fatimah
menjadi istrinya, singkat cerita, Rasulullah menerimanya.
Lalu keromantisan
Fatimah dan Ali berlanjut terus hingga mereka menjadi pasangan suami dan istri.
Suatu hari pernah Fatimah Az Zahra mengatakan sesuatu tanpa disengaja dan
perkataan itu membuat hati Ali terusik. Menyadari bahwa ia bersalah, Fatimah
segera meminta maaf berulang-ulang kali kepada Ali.
Melihat wajah Ali
tak juga berubah, maka Fatimah Az-Zahra berlalri-lari kecil di sekitar Ali.
Sebanyak 7 kali ia ‘tawaf’ sambil merayu-rayu mohon untuk dimaafkan. Melihat
tingkah Fatimah di hadapannya, Ali tak dapat menahan senyum. Kemudian ia
tersenyum dan memaafkan kesalahan isterinya. Selain memiliki sifat yang
romantis terhdap suami, ia juga anak yang memiliki sisi romantisme terhadap
ayahnya (buka link beriku . . . abiummi.com ). Mendengar kejadian itu,
Rasulullah berkata pada putrinya. “Wahai Fatimah, kalaulah dikala itu engkau
mati sedangkan suamimu tidak memaafkanmu, niscaya aku tidak akan menyolatkan
jenazahmu.”
Dalam hal ini,
Rasulullah sedang mengajarkan pada putrinya (juga pada kita para isteri
salihah) tentang bagaimana kedudukan seorang suami sebagai pemimpin di
keluarga. Agar para isteri mampu menghargai suaminya dan mau menjaga perasaan
suami. Kepatuhan seorang Fatimah juga ia lakukan karena Ali adalah suami yang
memang pantas untuk diapatuhi dan dituruti kata-katanya. Hadits dianjurkannya
seorang istri patuh kepada suami ada pula dalam hadits berikut. “Wanita mana
saja yang meninggal dunia, kemudian suaminya merasa ridho terhadapnya, maka ia akan
masuk surga.” (HR Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Imam Tarmidzi).
Hadits lainnya
juga dikatakan. “Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktunya,
melaksanakan shaum pada bulannya, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya,
maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja ia kehendaki.” (HR Ibnu Hibban
dalam Shahihnya).
Kisah Rasulullah dan Aisyah
Cinta Rasulullah
kepada Aisyah dan kepada Khadijah tentu berbeda. Meski jika Rasulullah setiap
kali ditanya tentang siapa yang paling dicintainya beliau pasti akan menjawab
“Aisyah”. Sedangkan Rasulullah mencinta Khadijah sebagai karunia dari Allah.
Rasullah mencintai Aisyah karena gabungan anatara pesona kecantikan,
kepintaran, dan kematangan diri. Ummu salamah berkata, bahwa Rasulullah tidak
dapat menahan diri jika bertemu dengan Aisyah.
Bahkan diusia
Rasulullah yang semakin lanjut dan memiliki rentang usia yang cukup jauh dari
Aisyah, Rasulullah dapat menyesuaikan dirinya untuk menjadi bagian dari dunia
Aisyah pada usianya yang masih mudah. Keromantisan mereka diceritakan Imam Ahmad
dan Abu Dawud dalam hadisnya. “Pernah Rasulullah mengajak istrinya, Aisyah,
untuk berlomba lari dengannya. Rasulullah kalah. Lain waktu Rasulullah kembali
mengajak Aisyah berlomba lari dan Rasulullah memenangkannya sehingga beliau
tertawa seraya berkata, “Ini pembalasan yang dulu.”
Keromantisan lain
yang Rasulullah tunjukan pada Aisyah adalah ketika ia minum. Ia meminum air di
gelas yang telah aisyah minum dan meminum bagian gelas di bekas bibir Aisyah.
Dan masih banyak lagi kehangatan Rasulullah yang ia tunjukan kepada Aisyah.
Sedangkan dalam
cerita ini Rasulullah mengajarkan kepada kita bagaimana seorang suami perlu
menyenangkan hari isterinya. Rasulullah pernah bersabda. “Segala sesuatu selain
dzikrullah itu permainan dan kesia-siaan, kecuali terhadap empat hal; yaitu
seorang suami yang mencandai istrinya, seseorang yang melatih kudanya,
seseorang yang berjalan menuju dua sasaran (dalam permainan panah, termasuk
juga dalam berlomba), dan seseorang yang berlatih renang.” (HR. An-Nasa’i.
Shahih, kata Muhammad Abdul Halim Hamid).
Umar Bin Abdul Aziz dan Fatimah Binti Abdul Malik
Cinta yang
didasari ketaatan karena Allah, akan tumbuh abadi jika dibandingkan dengan
cinta karena alasan lainnya, terlebih karena alasan paras dan harta yang
sewaktu-waktu akan hilang. Cerita romantis islami lainnya datang dari sahabat
Rasulullah yang paling tegas dan terkenal dengan kegagahannya yakni Umar bin
Abdul Aziz. Beliau menikah dengan perempuan cantik dan baik akhlaknya bernama
Fatimah binti Abdul Malik. Dua pasangan yang sama-sama berasal dari keluarga
bangsawan, dan sama-sama memiliki perangai yang baik ini kisahnya terkenal
sepanjang sejarah kota Damaskus. Jika dilihat dari latar belakang dua keluarga
pasangan ini, banyak yang mengira bahwa keluarga mereka akan hidup bahagia
dengan gelimang harta hingga mereka tua. Namun kenyataannya tidak seperti itu.
Ketakwaan Umar
terhadap Allah, membuat ia dengan tegas memutuskan untuk membaktikan seluruh
harta, waktu, dan tenaganya untuk negra dan untuk umat yang dicintainya. Ia
menyerahkan semua kekayaannya pada Negara, dan membawa serta Fatimah binti
Abdul Malik untuk tinggal di sebuah gubuk kecil bersamanya. Ia mengajarkan pada
kita semua bahwa kedudukan tertinggi dalam sebuah pemerintahan, tak lantas
membuat seorang pemimpin harus bermewah-mewahan dengan harta. Dan Fatimah mengajarkan pada kaum
perempuan, tentang kepatuhan terhadap
suami, tentang mendukung sepenuhnya apa yang menjadi keputusan suami dalam
jalan dakwah. Dan satu lagi pelajarannya adalah tentang hidup sabar dan ikhlas
dalam kesederhanaan bersama suami yang dicintainya.
Diceritakan suatu
hari ada seorang wanita datang ke gubuk mereka. Wanita itu berkata pada
Fatimah, “Alangkah baiknya bila Anda menyingikir dari pandangan tukang batu
itu. Sebab ia selalu melihat ke wajah Anda.” Fatimah kemudian tersenyum dan
menjawab pada wanita tersebut. “Tukang batu itu adalah suamiku sang Amirul
Mukminin.”
Kedua pasangan
ini mengajarkan bahwa harta bukanlah segalanya, hidup akan tetap bahagia meski
mereka harus melepaskan segala keberlimpahan harta yang dulu pernah mereka
miliki untuk digantikan dengan kehidupan yang jauh lebih sederhana dari
kehidupan biasnaya. Tidak terhitung seberapa sering mereka mengalami kejadian
tidak memiliki uang sepeser pun. Fatimah dan umar mengalami hidup dengan hanya
memiliki selehai gaun, baju umar yang sudah memiliki tambalan tidak membuatnya
malu, justru itu membuanya bangga dengan Umar. Karena kualitas seorang pria
tidak diukur dari baju yang ia kenakan, tetapi lebih kepada apa yang telah ia
lakukan untuk orang lain.
Setelah Umar
wafat, Fatimah dinikahi oleh seorang bangsawan kaya. Namun bagi Fatimah
kebahagian yang ia alami bersama Umar tidak akan tergantikan oleh sebesar
apapun uang yang diterimanya. Hidup sederhana atas dasar ketaatan kepada
Allahlah yang sejatinya membuat mereka hidup bahagia hingga hari tua.
Abdurrahman Bin Abu Bakar Assidik dan Atika
Putra dari Abu
Bakar Assidik ini begitu mencintai istrinya yang bernama Atika, begitupun
sebaliknya. Melihat hal ini, Abu Bakar merasa khawatir jika cinta mereka akan
melalaikan keduanya dari beribadah kepada Allah. Kemudian Abu Bakar meminta
anaknya untuk menceraikan istrinya tersebut. Ia mematuhi perintah ayahnya meski
kecintaan Abdurrahman masihlah begitu besar terhadap istrinya dan ia tidak
dapat melupakan istrinya.
Tanpa Atika dalam
hidupnya, ia larut dalam duka meski sebisa mungkin ia berusaha untuk tegar.
Hingga kedukaannya melahirkan sebuah syair berisi seperti ini:
Demi Allah,
tidaklah aku melupakanmu
Walau mentari tak
terbit meninggi
Dan tidaklah
terurai air mata merpati itu
Kecuali berbagi
hati
Tak pernah
kudapati orang sepertiku
Menceraikan orang
seperti dia
Dan tidaklah
orang seperti dia dithalaq karena dosanya
Dia berakhlaq
mulia, beragama, dan bernabikan Muhammad
Berbudi pekerti
tinggi, bersifat pemalu dan halus tutur katanya
Karena kesabaran
keduanya mengahadapi ujian yang diberikan ayahnya. Akhirnya hati sang ayah pun
luluh. Mereka diizinkan rujuk kembali. Dan Abdurrahman membuktikan beberapa
saat setelah itu ia syahid di medan perang. Ia buktikan pada ayahnya bahwa
cintanya terhadap istrinya tidak akan mengorbankan ibadah dan jihadnya di jalan
Allah.
Thalhah ibn ‘Undaidillah dan Aisyah
“Dan apabila
kalian meminta suatu hajat kepada isteri Nabi itu, maka mintalah pada mereka
dari balik hijab. Demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.
Kalian tiada boleh menyakiti Rasulullah dan tidak boleh menikahi
isteri-isterinya sesudah wafatnya selama-lamanya.”
Ayat ini muncul
ketika Thalhah ibn Ubaidillah bergumam dalam hatinya. “Akan kunikahi Aisyah
jika Nabi telah wafat.” Siapakah Thalhah itu? Thalhah masih terbilang sebagai
sepupu dari Aisyah binti Abu Bakar istri Rasulullah.
Suatu hari
Thalhah sedang berbincang dengan Aisyah. Kemudian Rasulullah datang menghampiri
keduanya dengan air muka tak suka melihat pemandangan tersebut. Rasulullah
meminta Aisyah dengan isyarat untuk masuk ke dalam bilik. Kemudian wajah
Thalhah memerah dan ia pergi meninggalkan Rasulullah dengan gumam di dalam
hatinya karena kesal. “Beliau melarangku berbincang dengan ‘Aisyah. Tunggu
saja, jika beliau telah diwafatkan Allah, takkan kubiarkan orang lain
mendahuluiku melamar ‘Aisyah.”
Karena kejadian
inilah ayat tersebut turun. Dan ketika ayat itu dibacakan, Thalhah menangis
menyesali perbuatannya. Ia bertobat kepada Allah dengan memerdekakan budaknya
dan menyumbangkan sepuluh untanya di jalan Allah, selain itu ia juga menunaikan
ibadah haji dengan berjalan kaki.
Ketaatannya
kepada Allah dan Rasulullah tidak dapat dikalahkan oleh perasaan lain yang
haram baginya. Namun kasih yang tak mungkin sampai ini masih tetap ada sehingga
ia melimpahkan kasih sayang itu kepada putrinya, sehingga menamai putrinya
dengan nama Aisyah binti Thalhah. Banyak hadits juga yang menceritakan
kecemerlangan Aisyah binti Thalhah pada zamannya. Ia memiliki kecantikan dan
kepintaran yang hampir sama dengan Aisyah binti Abu Bakar.