6 Cerita Romantis Islami di Zaman Rasulullah




Siapa yang tidak tahu cerita heroik para pejuang dakwah di zaman Rasulullah, sedikit banyak kita tentu pernah mendengar bagaimana perjuangan Rasulullah beserta sahabat ketika berada di medan perang. Tidak sedikit pula yang kagum pada karakteristik rasulullah juga para sahabat yang setia menemaninya di jalan dakwah.

Namun selain kisah heroik mereka di zaman itu, ada pula cerita romantis yang pernah mereka alami, dan kita dapat ambil pelajarannya untuk kita tarik ke zaman saat ini. Tentu tidak ada sejarah yang tidak bisa kita ambil hikmahnya bukan? Meski kita sudah berabad jarak dengan mereka, namun kisah-kisah itu tentu akan terulang mungkin oleh sahabat kita, adik kita, tetangga kita, bahkan mungkin oleh kita sendiri. Ketika dihadapkan pada kasus yang sama, kita bisa memilih mengikuti apa yang pernah dicontohkan oleh para teladan kita, atau justru memilih cara lain yang besar kemungkinannya kita berada di jalan yang salah. Mari kita simak cerita romantis islami Rasulullah dan para sahabat pada zaman itu. Kemudian Ambil pelajaran dari kisah tersebut.




Rasulullah dan Khadijah binti Khuwailid

Kisah mereka akan menjadi teladan cerita romantis islami terbaik sepanjang masa. Dari sekian banyak kisah tentang Rasulullah dan khadijah yang sering kita dengar, ada satu kisah yang menurut saya menarik. Ternyata sebelum rasul menikah dengan Khadijah, beliau telah memendam perasaan juga terhadap Khadijah kala itu. Alkhisah ketika sahabat Khadijah yang bernama Nafisah binti Muniah menanyakan kesediaan nabi untuk menikahi Khadijah, maka beliau menjawab. “Bagaimana caranya?”

Caran Rasulullah bertanya menggambarkan seolah-olah ia telah menunggu masa itu sejak lama. Kehidupan rumah tangga Rasulullah dan Khadijah berjalan dengan penuh keromantisan juga perjuangan yang sangat berarti. Hingga tiba masa dimana Rasulullah harus merelakan ajal menjemput istri kesayangannya yakni Khadijah Radhiallahu anha.

Setahun setelah Khadijah wafat, ada seorang sahabiah datang menemui Rasulullah. Wanita ini kemudian bertanya. “Ya, Rasulullah. Mengapa engkau tidak menikah? Engkau memiliki 9 keluarga dan harus menjalankan seruan besar.” Sambil menangis Rasulullah menjawab. “Masih adakah orang lain setelah setelah Khadijah?” Jika bukan karena perintah langsung dari Allah,  mungkin saja Rasulullah tidak akan pernah menikah lagi untuk selama-lamanya karena ketulusannya mencintai Khadijah Radhiallahu anha.


 Kisah Fatimah dan Ali Bin Abu Thalib


Dua pasangan ini mengajarkan kita tentang menjaga perasaan dengan cara yang baik. Mengutamakan ketaatan kepada Allah diatas segalanya, termasuk perasaan terhadap sesema manusia yang kian berkecamuk dalam dadanya. Namun sayang, fenomenanya saat ini. Sudah jarang sekali muda-mudi yang memiliki rasa malu seperti Fatimah Azzahra dan Ali bin Abi Thalib. Sudah terlalu sering kita menyaksikan mereka yang dengan mudahnya mengumbar kemesraan jelas.

Mari kita kembalikan kisah romantisnya pada masa Fatimah dan Ali. Ketika itu Ali hanya seorang pemuda biasa yang hanya memiliki harta baju besi yang sedang ia gadaikan. Ia mencintai Fatimah, namun dirinya merasa tidak pantas jika harus mendatangi Rasulullah untuk menikahi Fatimah tanpa kemapanan harta yang cukup. Dalam ikhtiarnya memantaskan diri untuk Fatimah, selalu saja ada cerita yang ia dengar dan hampir mematahkan semangatnya. Seperti ketika ia mendengar cerita Abu Bakar dengan kesalihan dan kemapanan yang dimilikinya mendatangi Rasulullah bermaksud untuk menjadikan Fatimah sebagai Istrinya. Mendengar itu Ali kecewa namun dia lebih mendahulukan kebahagiaan Fatimah dibandingkan dirinya, ia berusaha menata hati untuk mengikhlaskan. Karena dia yakin Fatimah akan lebih bahagia dengan Abu Bakar jika dibandingkan dengan dirinya yang tidak punya apa-apa. Namun kemudian Rasulullah tidak menerima lamaran Abu Bakar, dengan alasan Fatimah masih terlalu muda. Begitupan dengan Umar dan Utsman, kedua sahabat Ali yang juga tidak kalah salih dan kaya itu pun ditolak oleh Rasulullah. Betapa kejadian itu kian menimbulkan keresahannya timbul tenggelam.

Suatu hari datanglah Ali menemui Rasulullah dengan segala kekurangan dan kelebihannya.Ia  memberanikan diri menghadap rasulullah dan menyampaikan maksud hatinya untuk meminta Fatimah menjadi istrinya, singkat cerita, Rasulullah menerimanya.

Lalu keromantisan Fatimah dan Ali berlanjut terus hingga mereka menjadi pasangan suami dan istri. Suatu hari pernah Fatimah Az Zahra mengatakan sesuatu tanpa disengaja dan perkataan itu membuat hati Ali terusik. Menyadari bahwa ia bersalah, Fatimah segera meminta maaf berulang-ulang kali kepada Ali.

Melihat wajah Ali tak juga berubah, maka Fatimah Az-Zahra berlalri-lari kecil di sekitar Ali. Sebanyak 7 kali ia ‘tawaf’ sambil merayu-rayu mohon untuk dimaafkan. Melihat tingkah Fatimah di hadapannya, Ali tak dapat menahan senyum. Kemudian ia tersenyum dan memaafkan kesalahan isterinya. Selain memiliki sifat yang romantis terhdap suami, ia juga anak yang memiliki sisi romantisme terhadap ayahnya (buka link beriku . . . abiummi.com ). Mendengar kejadian itu, Rasulullah berkata pada putrinya. “Wahai Fatimah, kalaulah dikala itu engkau mati sedangkan suamimu tidak memaafkanmu, niscaya aku tidak akan menyolatkan jenazahmu.”

Dalam hal ini, Rasulullah sedang mengajarkan pada putrinya (juga pada kita para isteri salihah) tentang bagaimana kedudukan seorang suami sebagai pemimpin di keluarga. Agar para isteri mampu menghargai suaminya dan mau menjaga perasaan suami. Kepatuhan seorang Fatimah juga ia lakukan karena Ali adalah suami yang memang pantas untuk diapatuhi dan dituruti kata-katanya. Hadits dianjurkannya seorang istri patuh kepada suami ada pula dalam hadits berikut. “Wanita mana saja yang meninggal dunia, kemudian suaminya merasa ridho terhadapnya, maka ia akan masuk surga.” (HR Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Imam Tarmidzi).

Hadits lainnya juga dikatakan. “Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktunya, melaksanakan shaum pada bulannya, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja ia kehendaki.” (HR Ibnu Hibban dalam Shahihnya).


 


Kisah Rasulullah dan Aisyah

Cinta Rasulullah kepada Aisyah dan kepada Khadijah tentu berbeda. Meski jika Rasulullah setiap kali ditanya tentang siapa yang paling dicintainya beliau pasti akan menjawab “Aisyah”. Sedangkan Rasulullah mencinta Khadijah sebagai karunia dari Allah. Rasullah mencintai Aisyah karena gabungan anatara pesona kecantikan, kepintaran, dan kematangan diri. Ummu salamah berkata, bahwa Rasulullah tidak dapat menahan diri jika bertemu dengan Aisyah.

Bahkan diusia Rasulullah yang semakin lanjut dan memiliki rentang usia yang cukup jauh dari Aisyah, Rasulullah dapat menyesuaikan dirinya untuk menjadi bagian dari dunia Aisyah pada usianya yang masih mudah. Keromantisan mereka diceritakan Imam Ahmad dan Abu Dawud dalam hadisnya. “Pernah Rasulullah mengajak istrinya, Aisyah, untuk berlomba lari dengannya. Rasulullah kalah. Lain waktu Rasulullah kembali mengajak Aisyah berlomba lari dan Rasulullah memenangkannya sehingga beliau tertawa seraya berkata, “Ini pembalasan yang dulu.”

Keromantisan lain yang Rasulullah tunjukan pada Aisyah adalah ketika ia minum. Ia meminum air di gelas yang telah aisyah minum dan meminum bagian gelas di bekas bibir Aisyah. Dan masih banyak lagi kehangatan Rasulullah yang ia tunjukan kepada Aisyah.

Sedangkan dalam cerita ini Rasulullah mengajarkan kepada kita bagaimana seorang suami perlu menyenangkan hari isterinya. Rasulullah pernah bersabda. “Segala sesuatu selain dzikrullah itu permainan dan kesia-siaan, kecuali terhadap empat hal; yaitu seorang suami yang mencandai istrinya, seseorang yang melatih kudanya, seseorang yang berjalan menuju dua sasaran (dalam permainan panah, termasuk juga dalam berlomba), dan seseorang yang berlatih renang.” (HR. An-Nasa’i. Shahih, kata Muhammad Abdul Halim Hamid).
 

Umar Bin Abdul Aziz dan Fatimah Binti Abdul Malik

Cinta yang didasari ketaatan karena Allah, akan tumbuh abadi jika dibandingkan dengan cinta karena alasan lainnya, terlebih karena alasan paras dan harta yang sewaktu-waktu akan hilang. Cerita romantis islami lainnya datang dari sahabat Rasulullah yang paling tegas dan terkenal dengan kegagahannya yakni Umar bin Abdul Aziz. Beliau menikah dengan perempuan cantik dan baik akhlaknya bernama Fatimah binti Abdul Malik. Dua pasangan yang sama-sama berasal dari keluarga bangsawan, dan sama-sama memiliki perangai yang baik ini kisahnya terkenal sepanjang sejarah kota Damaskus. Jika dilihat dari latar belakang dua keluarga pasangan ini, banyak yang mengira bahwa keluarga mereka akan hidup bahagia dengan gelimang harta hingga mereka tua. Namun kenyataannya tidak seperti itu.

Ketakwaan Umar terhadap Allah, membuat ia dengan tegas memutuskan untuk membaktikan seluruh harta, waktu, dan tenaganya untuk negra dan untuk umat yang dicintainya. Ia menyerahkan semua kekayaannya pada Negara, dan membawa serta Fatimah binti Abdul Malik untuk tinggal di sebuah gubuk kecil bersamanya. Ia mengajarkan pada kita semua bahwa kedudukan tertinggi dalam sebuah pemerintahan, tak lantas membuat seorang pemimpin harus bermewah-mewahan dengan harta.  Dan Fatimah mengajarkan pada kaum perempuan,  tentang kepatuhan terhadap suami, tentang mendukung sepenuhnya apa yang menjadi keputusan suami dalam jalan dakwah. Dan satu lagi pelajarannya adalah tentang hidup sabar dan ikhlas dalam kesederhanaan bersama suami yang dicintainya.

Diceritakan suatu hari ada seorang wanita datang ke gubuk mereka. Wanita itu berkata pada Fatimah, “Alangkah baiknya bila Anda menyingikir dari pandangan tukang batu itu. Sebab ia selalu melihat ke wajah Anda.” Fatimah kemudian tersenyum dan menjawab pada wanita tersebut. “Tukang batu itu adalah suamiku sang Amirul Mukminin.”

Kedua pasangan ini mengajarkan bahwa harta bukanlah segalanya, hidup akan tetap bahagia meski mereka harus melepaskan segala keberlimpahan harta yang dulu pernah mereka miliki untuk digantikan dengan kehidupan yang jauh lebih sederhana dari kehidupan biasnaya. Tidak terhitung seberapa sering mereka mengalami kejadian tidak memiliki uang sepeser pun. Fatimah dan umar mengalami hidup dengan hanya memiliki selehai gaun, baju umar yang sudah memiliki tambalan tidak membuatnya malu, justru itu membuanya bangga dengan Umar. Karena kualitas seorang pria tidak diukur dari baju yang ia kenakan, tetapi lebih kepada apa yang telah ia lakukan untuk orang lain.

Setelah Umar wafat, Fatimah dinikahi oleh seorang bangsawan kaya. Namun bagi Fatimah kebahagian yang ia alami bersama Umar tidak akan tergantikan oleh sebesar apapun uang yang diterimanya. Hidup sederhana atas dasar ketaatan kepada Allahlah yang sejatinya membuat mereka hidup bahagia hingga hari tua.
 


Abdurrahman Bin Abu Bakar Assidik dan Atika

Putra dari Abu Bakar Assidik ini begitu mencintai istrinya yang bernama Atika, begitupun sebaliknya. Melihat hal ini, Abu Bakar merasa khawatir jika cinta mereka akan melalaikan keduanya dari beribadah kepada Allah. Kemudian Abu Bakar meminta anaknya untuk menceraikan istrinya tersebut. Ia mematuhi perintah ayahnya meski kecintaan Abdurrahman masihlah begitu besar terhadap istrinya dan ia tidak dapat melupakan istrinya.

Tanpa Atika dalam hidupnya, ia larut dalam duka meski sebisa mungkin ia berusaha untuk tegar. Hingga kedukaannya melahirkan sebuah syair berisi seperti ini:

Demi Allah, tidaklah aku melupakanmu

Walau mentari tak terbit meninggi

Dan tidaklah terurai air mata merpati itu

Kecuali berbagi hati

Tak pernah kudapati orang sepertiku

Menceraikan orang seperti dia

Dan tidaklah orang seperti dia dithalaq karena dosanya

Dia berakhlaq mulia, beragama, dan bernabikan Muhammad

Berbudi pekerti tinggi, bersifat pemalu dan halus tutur katanya

Karena kesabaran keduanya mengahadapi ujian yang diberikan ayahnya. Akhirnya hati sang ayah pun luluh. Mereka diizinkan rujuk kembali. Dan Abdurrahman membuktikan beberapa saat setelah itu ia syahid di medan perang. Ia buktikan pada ayahnya bahwa cintanya terhadap istrinya tidak akan mengorbankan ibadah dan jihadnya di jalan Allah.




Thalhah ibn ‘Undaidillah dan Aisyah

“Dan apabila kalian meminta suatu hajat kepada isteri Nabi itu, maka mintalah pada mereka dari balik hijab. Demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka. Kalian tiada boleh menyakiti Rasulullah dan tidak boleh menikahi isteri-isterinya sesudah wafatnya selama-lamanya.”

Ayat ini muncul ketika Thalhah ibn Ubaidillah bergumam dalam hatinya. “Akan kunikahi Aisyah jika Nabi telah wafat.” Siapakah Thalhah itu? Thalhah masih terbilang sebagai sepupu dari Aisyah binti Abu Bakar istri Rasulullah.

Suatu hari Thalhah sedang berbincang dengan Aisyah. Kemudian Rasulullah datang menghampiri keduanya dengan air muka tak suka melihat pemandangan tersebut. Rasulullah meminta Aisyah dengan isyarat untuk masuk ke dalam bilik. Kemudian wajah Thalhah memerah dan ia pergi meninggalkan Rasulullah dengan gumam di dalam hatinya karena kesal. “Beliau melarangku berbincang dengan ‘Aisyah. Tunggu saja, jika beliau telah diwafatkan Allah, takkan kubiarkan orang lain mendahuluiku melamar ‘Aisyah.”

Karena kejadian inilah ayat tersebut turun. Dan ketika ayat itu dibacakan, Thalhah menangis menyesali perbuatannya. Ia bertobat kepada Allah dengan memerdekakan budaknya dan menyumbangkan sepuluh untanya di jalan Allah, selain itu ia juga menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki.

Ketaatannya kepada Allah dan Rasulullah tidak dapat dikalahkan oleh perasaan lain yang haram baginya. Namun kasih yang tak mungkin sampai ini masih tetap ada sehingga ia melimpahkan kasih sayang itu kepada putrinya, sehingga menamai putrinya dengan nama Aisyah binti Thalhah. Banyak hadits juga yang menceritakan kecemerlangan Aisyah binti Thalhah pada zamannya. Ia memiliki kecantikan dan kepintaran yang hampir sama dengan Aisyah binti Abu Bakar.